Posts Tagged ‘Ibunda (selesai)

11
Jan
10

Ibunda (4)

Untuk kesekian kali pertanyaan yang sama dilontarkan teman-teman … “Apakah cerita di blog ini kisah nyata?”. Sekali lagi si empunya blog dinda27 menjawab: ” Ya!! Cerita di blog ini adalah kisah nyata. Di blog dinda27, penulis menggunakan nama samaran untuk para pemeran dalam penuturan kisahnya”. Karena kisahnya nyata, maka bahan cerita mengalir seperti air. Sayangnya ada hambatan emosional, sehingga tak cukup mampu mengurai sekehendak hati. Ada konflik bathin …

Cerita Ibunda (3), mengkisahkan tentang kondisi kesehatan beliau. Khabar terakhir … Ibunda berusaha menjalankan hari-harinya, mencoba membenamkan rasa terpuruk, tepatnya hampa.
Ada yang tak nyaman ‘tuk dikhabarkan … beliau kehilangan semangat hidup … (sekali) lagi!

… by dinda’kk, Jul.11’09 – (ke) 2.323

Penulis sempat ‘menyimak’ curhatnya melalui telphon belum lama berselang …
“mbak, aku seolah diperlihatkan kembali siratan-siratan yang pernah hadir tak terduga. Yang selalu kuabaikan, kusangkal. Semaksimal usaha-ku mengabaikan semua firasat yang berjalan ‘cepat’ melampoi bilangan sekian tahun, pada akhirnya ‘terhenti’ di satu titik lelah dimana tak lagi mampu menghindar. Dampak (selalu) diamku seolah nerimo telah menjerumuskan menjadi sebentuk kenyamanan tatkala dikemudiannya ‘mereka yang telah berperan’ terbentur menjadi ‘budak keduniawian’ mengatas namakan kepentingan ‘mereka’ tanpa rasa malu.
MungkinTah ini yang dinamakan suratan? Dan yang bisa kulakukan sekarang adalah mencoba menepis semua rasa dan galau hati, menyerahkan kembali pada KEHENDAKNYA. Aku tak mampu mengambil sikap, terlebih mengambil keputusan … biarlah Allah yang mengatur hidupku.”

“Memang sejak kecil, jiwa-ku kerap berjalan sendiri meninggalkan raga. Aku lelah menjadi bukan diri sendiri, lelah mendapati diri menjadi jagal bagi jiwaku. Lelah menjadi orang yang selalu baik bagi orang lain, sementara kebaikkan demi kebaikkan ‘tuk diluar-diri ternyata menjadi bumerang diri sendiri. Lelah bersandiwara seolah semuanya baik-baik saja. Lelah akan diamku atas perilaku orang lain yang mengira aku sumber kebaikkan untuk kepentingan mereka, kemudian menjadikannya sebagai kesewenangan berkesinambung. Lelah ini telah diambang batas toleransi. Hingga ku bertanya kepada ALLAH … apaTah ini yang harus kujalani, buah dari kepongahanku dalam diam demi meletakkan diri sebagai makhluk Allah yang senantiasa ingin dikasihiNYA, menempatkan diri seolah mesin yang dapat di tunggangi ‘bagi yang berkepentingan melihat peluang hingga terlena menjadi semena-mena, sementara pemilik mesin hanya dititipkan tempat bersemayamnya mesin dan bertanggung jawab memelihara keberlangsungan hidup mesin. Ibarat jiwa … dia telah berjalan lebih dini meninggalkan raga yang rapuh … yang semakin rapuh”


Penulis diam, tak mampu menghibur Ibunda. Beliau hanya butuh di dengar dan di pahami.

Kalau boleh penulis bersuara, memberi masukkan … Ibunda selayaknya mampu menempatkan diri untuk bersikap tegas, mampu bicara tidak atas semua yang tak berkenan. Perangilah kelemahan diri tuk berhenti sebagai seorang yang selalu nerimo. Betapa letihnya bila selama usia, hidup bersandiwara demi kepentingan orang lain.

Tapi sulit juga ya bila sifat ini telah terbentuk sejak masa kanak-kanak. Ini semacam karakteristik Ibunda yang melekat tanpa dikehendakinya. Yang terbentuk dalam suasana ketakutan, dibawah ancaman dan siksaan. Dan ini berhubungan erat dengan masa kecil hingga usia remaja. Mungkin ini yang menjadi salah satu penyebab, betapa rapuhnya beliau.
Tapi ada yang menggelitik pemikiran penulis, bila dikatakan kurang sabar … bagaimana mungkin beliau mampu menjalaninya selama bertahun-tahun dalam diam dan masih mampu bersikap ‘manis’.
Penulis mendengar sendiri pengakuan Ibunda, betapa dia mampu menjalani kekecewaan selama bilangan tahun dalam diam dan mencoba tetap bersikap baik. Hingga akhirnya membakar ketahanan jiwanya, hingga Ibunda terjatuh sakit … bahkan pernah bunuh diri lebih dari sekali .. karena tidak sanggup mengatasi rasa kecewanya. Sementara sekian lama semua rasa dukanya tersimpan dalam diam.

akkhhh …

* Mohon maaf atas permintaan Ibunda, kolom komentar ini dipasifkan.

07
Jan
10

Ibunda (3)

Masih tentang Ibunda …
Sebenarnya kisah ini hendak di-sudah-i penulis hingga episode 3. Tapi ada kejadian teranyar, kiranya cukup menarik ‘tuk disimak.
Kemarin penulis menerima sms dari tokoh cerita, sebut saja Ibunda; sesuai judul kisah-nyata-ini. Isinya sbb: (Sent: 06 01 2010 / 11:14:54)
Mbak ak lg skt skrg d jl. Nti telp ak kl g angkat ak ada ksulitn. Tlp anakku aja. Dtas bnyk bnyk …”

Berikut ini penelusuran penulis tepat di hari kejadian; 06 Januari 2010.

Saat amat-i hape, rupanya ada misscall-nya 2x. Sms itu sendiri baru kubaca 1jam kemudian. Lengkapnya sbb:
Mbak, aku lagi sakit, sekarang di jalan. Nanti telphon aku, kalau ga diangkat aku ada kesulitan. Telphon anakku aja. Di tas banyak banyak …”

Ku‘coba hubungi Ibunda. Nafas-nya terengah-engah, suara-nya nyaris tak terdengar. “Ibunda ada dimana?”, tanya-ku cemas. Segera penulis menuju lokasi dan dari jarak beberapa meter, mengamati beliau tanpa se-pengetahuan-nya.
Ibunda berjalan gontai memasuki salah satu gedung, langsung menuju loket, menyerahkan selembar nota kecil ke-tangan petugas berseragam polisi. Kemudian berjalan menuju deretan bangku yang terisi penuh pengunjung. Seorang lelaki muda berdiri, memberikan bangku-nya. Tak lama berselang, satu-rangkai-nomor terdengar dipanggil petugas melalui pengeras suara. Ibunda beranjak menghampiri loket, mencoba mencari sesuatu dari dalam tas-nya, memenuhi permintaan petugas yang meminta KTP. Tatkala petugas memandang Ibunda, tampak siratan keterkejutan hingga terlontar kalimat: “KTP nya gak jadi bu, ini plat nomornya“. Mungkin petugas sempat bingung melihat seraut wajah pucat. (** moment seperti ini pernah terjadi beberapa kali)
Ibunda tak menyadari, aku telah berada dibelakangnya, berjaga-jaga bila terjadi sesuatu.
Sekilas terlihat, pandangan matanya kosong.
Beliau berjalan perlahan menuju area parkir sambil mengamati plat (nomor) baru yang cat-nya ‘berlubang terkelupas’ di-sana-sini.
Penulis pastikan dalam hati, bahwa Ibunda cukup kuat mengendarai mobilnya sekalipun dalam kondisi sakit.

Aku sempat dibingungkan karena beliau tak bersegera pulang, tapi menghentikan mobilnya di salah satu Gedung. Masuk kedalam, menyerahkan buku kecil pada seseorang. Kemudian menghampiri petugas satpam … kudengar suaranya lirih: “Pak, kalau nanti terjadi sesuatu sama saya, tolong tas saya diserahkan ke ibu …” (sambil menunjuk ke ruang ‘pimpinan’).
Ibunda menuju ke ruang lain. Aku mengawasi di-sebalik kaca yang transparant. Ada airmata mengalir dari kedua belah pipinya yang tampak kian pucat. Agak sulit dia membaca dan usai-kan transaksi di salah satu mesin di ruang tsb. Dia keluar dari ruangan, menghampiri seorang pegawai. Mencoba mencari sesuatu dari dalam tas-nya. Terlihat tanganya gemetar, tubuhnya sedikit limbung. Tiba-tiba diserahkannya tas-nya pada pegawai tsb., rupanya dia tak mampu temukan apa yang dicari dan berinisiatip untuk dibantu. Jemari kedua belah tangannya terlihat meregang.
Atasan si-pegawai sempat menghampiri mereka berdua, tampaknya saling kenal. Sang atasan menanyakan nama seseorang untuk dihubungi. Rupanya Ibunda seorang diri di kota ini. Setelah meyakinkan bahwa dirinya mampu pulang sendiri, Ibunda berjalan perlahan menuju mobilnya. Terlihat airmatanya deras mengalir dari balik kemudi. Di-amati-nya ke dua belah tangan-nya yang tampak meregang kaku, mencoba menggerakkan dan berusaha saling mengurut. Aku sedikit panik menyaksikan kondisi beliau dari balik kaca gedung, tepat berhadapan dengan posisi mobilnya. Tapi ku yakin, Ibunda mampu kemudikan mobilnya dan akan selamat sampai di rumah.
Huh … masih disempatkannya mampir memberikan bingkisan tatkala melewati rumah sahabatnya yang searah menuju rumahnya. Dia tidak turun, hanya membunyikan klakson. Sahabatnya tampak terkejut saat melihat kondisi Ibunda.

Beliau masih sempat mampir ke kantin memesan masakan. Tampak cukup akrab dengan si-pemilik kantin. Dari belakang kemudi, ibunda berbincang sejenak sambil memperlihatkan kaki dan tangannya. Airmata masih mengalir dari balik kacamata ‘kesayangan’nya. Ibu pemilik kantin mewanti-wanti Ibunda agar segera pulang dan beristirahat, serta berjanji akan mengantar masakan.
Sekali lagi Ibunda masih menghentikan mobilnya. Seorang perempuan muda keluar dari dalam rumah menghampiri beliau. Kali ini beliau mulai merasakan hendak pingsan, tidak mampu bicara lagi dan bersegera menjalankan kembali mobilnya.
Kupastikan Ibunda sampai di rumah dengan selamat. Dia tepikan mobilnya dan membuka pagar besi tinggi serta memasukkan mobilnya dibelakang roda empatnya yang lain.

Penulis menggelengkan kepala dari kejauhan, merasa trenyuh …
Ibunda memang sedang sakit sejak Desember lalu, bahkan selama 3 hari sholat di atas tempat tidur dalam posisi diam … seorang diri. Dan seperti penuturan terakhirnya, tadi pagi. “Mbak, sebenarnya saya gak berniat cerita, tapi saya baru saja alami kejadian yangtidak biasa. Selain itu pada akhir bulan lalu ada firasat kuat, akan jatuh sakit seperti dulu lagi“.
Sungguh tak kusangka kondisi Ibunda berubah drastis dalam waktu singkat. Pada 2jam berikutnya, saat ku-telphon, suaranya telah berubah seakan menahan rasa sakit. Sementara tadi pagi dia hanya bicara beberapa kalimat. Andai kutahu beliau akan keluar rumah, aku akan melarangnya.

Kubatalkan keinginan bertemu, setelah saksikan beberapa tamu datang bergantian mengunjunginya.
Kupastikan telah istirahat. Aku-pun segera meninggalkannya di kesendiriannya seiring gejolak rasa tak menentu.
Semoga Ibunda mampu atasi galau hatinya … kecemasan terselubung ‘ditinggalkan’ putra tunggalnya. Dia tak hendak memisahkan kebersamaan keluarga ‘baru’ putranya meski telah berkali dikecewakan oleh menantu dan keluarga menantu. Ibunda yang tidak suka menuntut, tidak banyak bersuara, sekalipun berulang kali disakiti. Seorang ibu yang baik dan penuh kasih sayang, yang ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang bersama putra dan menantunya. Tapi …

mungkin Allah berkehendak lain … Allah hendak jadikan Ibunda agar tidak bergantung pada manusia untuk mencari ketenangan hidup di masa tua-nya, sekalipun terhadap anaknya … kecuali kepada Allah semata … … …

Bersambung …

05
Jan
10

Ibunda (1)

* 17 12 2009 *
Banyak cerita terungkap tentang Ibunda ditulis oleh para-anak. Kisah kali ini, bermuasal dari seorang Ibu. Semoga ada manfaatnya.

Kehadiranku kerumahnya atas undangannya, dia memintaku menuliskan kisahnya. Perempuan yang kini ada dihadapanku, terlihat pucat. Ada semburat kesedihan pada wajahnya. Kami duduk diteras paviliun rumahnya yang cukup besar bagi seorang wanita yang hidup sendiri, sambil berbincang.
Mulanya sulit baginya bertutur. Sesekali terlihat matanya berkaca-kaca, suaranya berubah serak, kemudian berangsur lirih nyaris tak terdengar. Dan tatkala mengungkap kehadiran anggota keluarga baru, bola-mata-nya-pun berbinar.

Tulisan ini sempat tersimpan lama dalam catatan elektronikku, sama seperti beberapa kisah senada. Kebimbangan yang sama menyeruak, apaTah kisahnya ‘layak’ dipublikasikan. Alasan kali ini demi menjaga perasaan anaknya. Tapi semalam, dia meng-iyakan tuk di terbitkan.
Berikut kisahnya …

Aku dikaruniai anak lelaki. Kami bagai satu jiwa, saling mengasihi. Saling menghormati, dalam arti jauh dari mendikte.
Ketika anakku melanjutkan sekolah di-lain-kota, ku nyaris rutin menjenguk.
Berangkat dari rumah seusai subuh. Kendarai mobil sendiri di pagi buta, dengan bermacam keperluan putraku, memenuhi tempat duduk dan bagasi. Dari masakan matang yang masih hangat, hingga pakaian bersih. Semuanya kupersiapkan sendiri.
Setiba di kamar kostnya, ku segera berbenah. Bersihkan seluruh isi kamar, sambil kumpulkan perangkatnya dari baju hingga sepatu kotor yang telah menumpuk sekian lama. Kulkas akan terlihat jauh lebih bersih. Seprei ‘baru’, kamar dan isi almari tertata rapih.
Seringkali kami bertemu satu jam saja. Itupun lebih dari cukup. Ku maklumi kesibukkannya. Biasanya seusai tugas, ku berkemas pulang. Berulang-kali bergegas pulang dalam kondisi sakit agar tak ‘kemalaman’ di jalan. Yang diketahui putraku hanyalah sebatas: ibunya sering sakit kepala tapi tidak mau diberi obat.

Perjalanan di pagi hari, nyaris tanpa hambatan. Tapi perjalanan kembali ke kota ku di-selama kurun waktu tersebut, penuh dengan cerita. Berpacu dengan waktu, lincah larikan mobil dengan kecepatan tertentu dalam kondisi apapun.
Demi menunjang keselamatan, kurawat mobilku dengan baik. Utamakan service rutin agar aman selama perjalanan di kesendirian ku, terutama keluar kota. Urusan cuci mencuci kulakukan sendiri.

Nyaris disetiap perjalanan jauh, sakit kepalaku kambuh. Betapapun sangat menjaga asupan makanan alami.
Migrain dan penyempitan pembuluh darah, demikian diagnosa dokter dimasa pengobatan terakhirku bertahun silam. Setelah hidup sendiri dan memutuskan sekolahkan putraku seperti yang diinginnya, kutanamkan dalam diri ‘memohon kesembuhan hanya kepada Allah’.

Tatkala hujan deras, jalanan berubah licin, berkabut tebal, jarak pandang mata menjadi sangat pendek. Dengan suasana malam mencekam, sepi lengang dikelilingi hutan, kondisi jalan mendaki … sementara sakit di kepala menjadi-jadi … tubuh menggigil kedinginan, peluh sebesar biji jagung deras membasahi pakaian yang kukenakan. Mata perih, silau menusuk manakala beradu pandang dengan sinar lampu mobil dari arah berlawanan. Meski kenakan kacamata hitam pekat, meski hanya sisakan sedikit sudut pandang agar tetap terlihat jalan yang sedang kulalui, tetap saja sinar lampu redup mampu menusuk bola mata yang refleks ku-sipit-kan. Hingga berair bercampur dengan airmata yang mengalir deras menahan rasa sakit. Perut bergolak mual serasa hendak tumpahkan semua isi, tapi berusaha bertahan agar tak berhenti selama dalam perjalanan. Tidak aman berhenti dijalan sepi dimalam gulita sendirian. Kepala sakit tak tertahankan, bergerak sedikit, makin menambah rasa sakit, dan perutpun bergolak makin kuat. Tubuh ini seperti melayang serasa hendak jatuh pingsan menahan semua rasa. Ya Tuhan, ingin ku segera berbaring. Lelah …
Ada kalanya menjerit, menangis sepuas hati yang tak mungkin kulakukan di rumah. Di jalan sepi ditengah hujan deras, diantara hutan disepanjang jalan, hanya Allah yang mendengar semua luapan hati.
Sambil mendengarkan musik selama diperjalanan, bernyanyi dengan suara lepas. mmm, suara itu masih terdengar merdu dari seorang ‘penyanyi-semusim’ dimasa muda. Bergantian dengan curhatku ke Allah, tak henti berzikir, membaca doa. Dan rasa sakit itu seolah energi kebersamaan … Kumerasa sangat dekat seakan Allah melindungi perjalananku, selamat sampai di tujuan dalam waktu relatif singkat …
Kejadian ini teralami berulang kali. Aku bahkan sering tak habis mengerti, betapa semuanya telah terjalani karena ALLAH disebalik makna kasih sayang seorang Ibu.

Bersambung …




Thanks to: Wordpress

by-dinda27
Wordpress
Add to Technorati Favorites
dinda'kk2009.
May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 8 other subscribers

Categories

Archives

Blog Stats

  • 40,130 hits
free counters 140209
PageRank Checking Icon 110609

Top Clicks

  • None