dering bel rumah

Sekitar jam 7 malam, waktu itu, aku berdiri di depan pintu rumah tetangga. Tak berapa lama terdengar bunyi bel rumah sebelah yang letaknya berdampingan tanpa penyekat. Ada beberapa kali berbunyi. Aku bingung, korsleit? Koq sekian lama mendiami, baru kali ini begini. Bulu kudukku berdiri. Ntah mengapa aku tetap berdiri meski ku tahu ‘ada’ yang sedang berbuat iseng. Tak berapa lama penghuni baru keluar dan bertanya siapa yang ngebel barusan. Kukatakan dalam bahasa yang medok: “ndak tahu bu”. Aku tahu ibu tersebut bingung, dasar sifat pendiamku, aku pun tidak banyak bicara.

Kukira bunyi bel tersebut hanya terdengar olehku. Artinya telingaku ga‘ salah dengar. Masalahnya, tinggal waktu yang akan menjawab, bahwa aku bukan anak yang suka iseng. Pastinya suatu saat dia akan bertanya pada kakak angkatku.

Rumah sebelah adalah rumah yang pernah kuhuni selama 10tahun bersama orang tua dan kakak. Kebetulan ayahku mendapat pekerjaan baru di Ibukota, maka kamipun tinggalkan kota buaya yang penuh dengan ‘kenangan’. Sayangnya ujian sekolah alami kebocoran, ntah dimana-nya, sehingga aku-pun jadi korban harus mengulang lagi bersama seluruh siswa. Untunglah nilai ujianku A dan B. Karena harus mengulang ujian, orang tua menitip-kan-ku pada tetangga sebelah yang telah menjadi anak angkat sejak pertama kali menempati rumah barunya. (olala, kok tiba-tiba aku kangen kaka angkat-ku ya).
Kakak angkatku ini sepasang suami istri yang baru menikah dan di karuniai bayi. Sayangnya sang bayi meninggal dunia. Dari peristiwa duka ini yang merekatkan hubungan kami. Meski tak ada kaitan darah.

Keluarga-ku semuanya sudah berangkat ke ibukota, tinggal aku sendiri.
Hehehe, kalau diingat-ingat, sepertinya sejak kecil aku senantiasa melewati kejadian tercobakan.

* Ku dedikasikan untuk cie Lanny dan keluarga. Terima kasih atas segalanya. I miss you all. God bless you.
*dinda’kk 26 03 09 – 08am*